Sejarah Desa Andamui
Berdirinya Desa Andamui tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan Desa Luragung. Sebagai sebuah wilayah yang sudah ramai dan berpengaruh dari semenjak zaman Kerajaan Kuno dulu, Desa Luragung terus berkembang dalam berbagai macam aspek kehidupan sosial masyarakatnya dari waktu ke waktu. Dan ketika sektor ekonomi semakin maju, jumlah penduduk semakin bertambah, dan kebutuhan hidup semakin meningkat, timbul permasalahan kependudukan terkait dengan keadaan lahan dan jumlah penduduk yang semakin padat.
Jumlah penduduk yang semakin bertambah banyak tidak bisa terakomodir lagi dalam sebuah kawasan yang bernama Luragung tersebut. Sehingga akhirnya sedikit demi sedikit masyarakat pun semakin menyebar ke daerah-daerah lain di sekitar Luragung, dan beberapa diantaranya menuju sebuah kawasan teduh nan rindang di dekat lembah sungai Cigede (yang sekarang dikenal dengan sungai Cisanggarung). Lembah sungai yang indah tersebut kemudian banyak disebut dengan nama Kampung Selawayan. Dan Kampung Selawayan inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal lahirnya Desa Andamui.
Berdasarkan keterangan dari sesepuh masyarakat, Desa Andamui sudah ada sejak tahun 1800an. Berdirinya desa ini bermula dari Kampung Selawayan yang sekarang bernama Kampung Neundeut. Pada saat itu Kampung Selawayan dipimpin oleh seorang asli pribumi yang bernama Raksa Dimerta. Sementara itu di saat yang bersamaan, Surangadjaya memimpin sebagai Kepala Desa di Desa Luragung Landeuh.
Pada saat itu usia Surangadjaya sudah cukup tua, sehingga ia berencana untuk berhenti dari jabatannya sebagai Kepala Desa Luragung Landeuh. Dan ketika Surangadjaya berhenti itu lah Raksa Dimerta dari Desa Selawayan didaulat menjadi pengganti Surangadjaya sebagai Kepala Desa Luragung Landeuh.
Ketika tampuk pimpinan Desa Luragung Landeuh dipimpin oleh Raksa Dimerta, kemajuan desa Luragung Landeuh semakin pesat baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi lainnya. Berkat kepiawaiannya dalam menjalankan pemerintahan tersebut, Raksa Dimerta mendapat gelar “Jeujeuleuk Kuwu Aris” yang artinya “Segala sesuatu yang ia lakukan atau tugas yang ia emban selalu dijalankan dengan baik karena menciptakan suasana damai, tenteram rapih loh jinawi.”
Setelah Raksa Dimerta sudah mendapat umur, maka diadakanlah sebuah pemilihan calon pemimpin Luragung Landeuh yang baru. Hampir seluruh rakyat di Desa Luragung Landeuh berbondong-bondong menuju tempat pemilihan untuk memilih calon baru yang akan menjadi Kepala Desa di Luragung Landeuh. Kebetulan yang terpilih menggantikan Raksa Dimerta dalam pemilihan tersebut adalah anaknya sendiri yang bernama Singa Ngadjaja.
Selama menjalankan tugas pemerintahannya, Singa Ngadjaja meniru cara-cara memimpin yang ayahnya lakukan. Berkat berbagai kebijakan dan gaya kepemimpinannya yang bijak dan adil, Luragung Landeuh semakin berkembang pesat. Karena ia menjalankan pemerintahan dengan baik inilah kemudian ia mendapat gelar sebagai Kuwu Aris Kedua.
Setelah kepindahan Raksa Dimerta ke Desa Luragung Landeuh, Kampung Selawayan pun mengalami vacuum of power. Oleh karena itu, masyarakat setempat mengadakan pemilihan calon pemimpin Kampung Selawayan yang baru. Dan pada saat itu yang terpilih adalah Cakradiwangsa, seorang warga asli setempat yang kebetulan adalah menantu dari Raksa Dimerta sendiri.
Pada masa kepemimpinan Cakradiwangsa, Selawayan sudah berkembang dan semakin banyak memiliki penduduk. Oleh karena itu, pada sekitar tahun 1800an Masehi letak pemerintahan dipindahkan ke arah timur Selawayan, di sekitar lembah sungai Cijurey. Di tempat yang subur inilah Cakradiwangsa mulai menjalankan pemerintahannya.
Ketika pusat pemerintahan berpindah ke lembah Cijurey, banyak masyarakat Selawayan yang pindah menuju wilayah tersebut. Cakradiwangsa memerintahkan rakyatnya yang berpindah ke lembah Cijurey untuk membangun rumah-rumah. Orang yang pertama pindah dan membuat rumah di lembah Cijurey pada waktu itu adalah Buyut Kalawangsa, seorang pelopor pembangunan lembah Cijurey. Hingga saat ini pemakaman Kalawangsa, atau yang sering disebut juga dengan pemakaman Eyang, masih ada dan dipelihara dengan baik oleh masyarakat.Lama kelamaan lembah Cijurey semakin maju dan ramai, sehingga kemudian perkampungan Cijurey itu berkembang menjadi sebuah desa yang mandiri. Nama Kampung Cijurey pun diganti namanya oleh Kuwu Cakradiwangsa menjadi Desa Andamui, yang terus bertahan hingga saat ini. Perkembangan Andamui selanjutnya tidak terlalu menonjol, sehingga dalam berbagai aspek banyak hal-hal yang berhubungan dengan Andamui itu hanya sebatas menjadi pelengkap perkembangan wilayah-wilayah sekitarnya dan terkubur oleh sejarah saja. Pada saat itu geliat Desa Baok, Desa Garajati dan wilayah desa lainnya lebih pesat dari Andamui. Sehingga dalam kurun beberapa waktu tersebut, sejarah Andamui belum bisa diketahui secara jelas dan pasti.
Sejarah Andamui mulai banyak diingat kembali ketika salah seorang penduduk pribumi bernama Komarudin menjadi Kepala Desa Andamui pada masa Penjajahan Jepang pada sekitar bulan maret tahun 1942 sampai dengan 15 agustus 1945 di Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, keadaan masyarakat sangat memprihatinkan. Rakyat sangat menderita karena disiksa terus menerus dan bahkan ada yang dipekerjakan siang dan malam sebagai romusha. Kelaparan terjadi dimana-mana, penindasan dan perkosaan pun merajalela. Harta kekayaan masyarakat diperas dan dijarah, kemudian diangkut oleh Jepang untuk kepentingan perangnya. Dengan keadaan seperti itu, banyak masyarakat yang memakai pakaian dari karet dan dari papagan kulit pohon salam.
Pada saat Belanda melakukan agresinya di Indonesia pada tahun 1947, masyarakat Desa Andamui pun turut berjuang bersama para pejuang negeri untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam masa perjuangan kemerdekaaan Bangsa Indonesia ini, Komarudin yang turut berjuang gigih bersama para pejuang terus diburu oleh tentara Belanda. Sehingga akhirnya dengan terpaksa ia melarikan diri dan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Kekosongan kepemimpinan pun terjadi di Desa Andamui, dan untuk mengisi kekosongan dalam menjalankan pemerintahan desa pada masa itu, Muchyidin didaulat oleh masyarakat sebagai Kepala Desa sementara. Pada tahun 1952, ia ditetapkan menjadi Kepala Desa yang resmi dan didampingi oleh seorang Juru Tulis yang bernama Marjuki. Namun dalam perkembangan selanjutnya, Marjuki mengundurkan diri dari pemerintahan desa. Lalu Afendi dipilih oleh masyarakat untuk menggantikan peran Marjuki sebagai Juru Tulis. Tidak jauh berbeda dengan Marjuki, pada tanggal 10 April 1963, Afendi pun mengundurkan diri sebagai Juru Tulis. Kepala Desa Muchyidin pun melakukan hal yang sama dengan alasan usia.
Kebetulan pada waktu itu Komarudin pulang kembali ke Desa, dan pada saat diadakan pemilihan Kepala Desa ia pun turut andil dalam pemilihan tersebut. Tidak lama kemudian hasil pemilihan menunjukkan bahwa ia kembali terpilih menjadi Kepala Desa Andamui. Dalam masa-masa selanjutnya, Desa Andamui terus berkembang di bawah kepemimpinan para Kepala Desa terpilih untuk senantiasa menyongsong jaman yang semakin maju.